Rabu, 01 Juni 2011

Meneropong Masa Depan Perminyakan Indonesia

Sudah ada banyak tulisan yang telah menguak tentang sains perminyakan (maknanya, cara pembentukannya, jenisnya, dll) dan analisis perminyakan (analisis energi, analisis ekonomi, dll). Namun kali ini, saya ingin meneropong lebih jauh tentang masa depan perkembangan “Teknik Perminyakan”, dari sisi prakteknya dilapangan dan serta peluang diversifikasi ilmunya di Indonesia. Bagaimanapun juga, hal ini menjadi penting untuk dipelajari karena negeri ini kaya dengan sumber migasnya. Jika ilmu Teknik Perminyakan tidak mengakselerasi perkembangannya, maka tantangan energi bangsa ini tidak akan pernah terjawab.

Berkaca dari sejarahnya, ilmu Teknik Perminyakan mulai tumbuh kembang saat Kolonel Drake yang mengebor lapisan tanah di Titusville di Pennsylvania. Sejak saat itulah ilmu itu terus menggeliat hingga memiliki kurikulum terstandar dalam dunia universitas atau institut dengan judul “Petroleum Engineering”, yang tak lain dan tak bukan lahir dari ilmu geologi yang telah berkembang cukup pesat sebelumnya. Bisa dikatakan, hingga kini ilmu Teknik Perminyakan masih “balita” karena baru berumur sekitar dua abad. Hal ini bisa dibandingkan dengan ilmu matematika, filsafat, ekonomi, dan politik yang kini telah dewasa karena telah berkembang selama beratus-ratus abad yang lalu.
Sebenarnya makna “Petroleum Engineering” tidak mengikat fokus pada dunia perminyakan saja (berbeda dengan bahasa Indonesia, “Teknik Perminyakan” memiliki arti seolah hanya berfokus pada pengambilan minyak saja). “Petroleum” bermakna fluida hidrokarbon yang ada didalam lapisan geologi didalam permukaan bumi. Dan hidrokarbon pun bisa berbentuk gas, minyak, dan minyak berat sesuai dengan komposisinya. Jadi ketika berbicara tentang teknik perminyakan, maka kita tidak hanya berbicara tentang pengambilan minyak saja. Pengambilan gas pun juga menjadi bagian dari ilmu ini karena dari segi teknis hampir sama dengan mengambil minyak.
Hingga kini, Ilmu Teknik Perminyakan masih terus mengakselerasi perkembangannya. Walaupun ada banyak bidang Teknik Perminyakan saat ini, tapi secara umum ilmu ini bisa dibagi kedalam ketiga sub-teknik: Teknik Reservoir, Teknik Pengeboran, dan Teknik Produksi. Ketiga sub-teknik ini terus berkembang dengan paduan sistem terkomputerisasi dan teknologi saat ini. Maka tak heran, jika dulu kebanyakan pengerjaan proyek migas masih menggunakan tangan dan ketelitian mata, kini semua telah termanajemen rapi dalam sebuah komputer. Tampak pula sekarang berbagai macam software yang berlisensi atau yang bebas turut mempermudah pekerjaan seorang Engineer Teknik Perminyakan. Belum lagi, perkembangan dunia simulasi numerik dari sebuah reservoir di sebuah computer, membuat kita seolah-olah dapat memprediksi apa saja yang akan terjadi di dalam bumi sana, tanpa kita harus kedalamnya.
Ilmu Teknik Perminyakan selalu berkembang dengan pesat terutama di negara-negara yang kaya dengan sumber migas. Kita bisa mengambil contoh di Amerika, Eropa, dan Negara Timur Tengah yang memiliki sederet nama kampus yang terdapat jurusan “Petroleum Engineering” didalamnya. Perkembangan ilmu Teknik Perminyakan negara-negara itu ditopang oleh kebutuhan industri eksplorasi dan eksploitasi migas yang memang diminta oleh pemerintah untuk bisa memenuhi energi di negaranya.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya ilmu Teknik Perminyakan Indonesia juga berkembang pesat seperti negara-negara kaya migas lainnya. Sampai sejauh ini, telah sudah ada beberapa kampus yang memasukan ilmu Teknik Perminyakan didalam salah satu kategori jurusannya. Kampus tersebut adalah ITB, UPN, Univ. Trisakti, dan beberapa STT Migas yang tersebar di seantero di Indonesia. Secara umum, kampus-kampus tersebut memang getol sekali menelurkan alumni-alumninya untuk berkontribusi dalam industri migas yang ada di Indonesia, baik perusahaan nasional atau asing.
Berbicara ihwal perkembangan ilmu Teknik Perminyakan ini, perlu kiranya kita kaitkan dengan realita sumber migas yang ada di Indonesia ini. Dalam salah satu sumber telah disebutkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki 60 cekungan sumber migas yang terbentang di sepanjang pantai barat Sumatera termasuk di Laut Cina Selatan, pantai utara Jawa dan berbelok ke selat Makasar, yaitu di sepanjang pantai barat Kalimantan (Sumber: IAGI, 2006). 60 cekungan ini dirinci lagi menjadi 38 basin telah dieksploitasi, yang 15 di antaranya telah berproduksi, 11 belum produksi, dan dalam tahap eksploitasi, dan masih ada 22 basin lagi yang belum dieksploitasi hingga sekarang. Walhasil, saat ini produksi minyak mengalami degradasi terus-menerus sejak tahun 2000. Rupanya era keemasan produksi minyak Indonesia dari tahun 1976-2000 telah berlalu karena stagnansi eksploitasi basin Indonesia.
Efek domino yang bisa dirasakan saat ini adalah perkembangan dunia migas di Indonesia menjadi terhambat. Hal ini ditandai dengan menurunnya pendapatan negara yang berasal dari sektor migas. Selain itu, industri migas mulai berancang-ancang untuk melakukan pembatasan jumlah karyawan karena belum adanya lapangan baru untuk dieksploitasi. Belum lagi ditambah dengan faktor politis sumber migas yang jadi rebutan negara adidaya dan isu hangat PSC Indonesia yang masih belum surut hingga kini. Sebenarnya solusi permasalahan ini dapat dipandang dari berbagai sisi. Namun semuanya akan berpulang lagi pada perkembangan ilmu Teknik Perminyakan itu sendiri, kemudian baru berlanjut pada SDM yang berkualitas dan modal yang mumpuni.
Mari kita melihat sekilas sumber energi dalam permukaan bumi Indonesia lainnya, yang proses mengambilnya mirip dengan proses mengambil migas. Adalah non konvensional gas (coalbed methane dan gas hydrate) dan geotermal yang memiliki prospek masa depan energi yang potensial di Indonesia. Walaupun pengenalan kedua ilmu itu belum terlalu populer di Indonesia, namun secara perlahan mulai menunjukan perkembangannya. Hal ini ditandai dengan diadakannya mata kuliah Teknik Panas Bumi dan Unconventional Hydrocarbon Recovery sebagai mata kuliah baru di Teknik Perminyakan kampus Indonesia, khususnya ITB. Kedepannya, mata kuliah yang berkaitan dengan hal ini sebaiknya diperbanyak, dan adalah sebuah keniscayaan suatu saat akan menjadi disiplin ilmu tersendiri di kampus yang nantinya akan menjadi interdisiplin dari ilmu  perminyakan.
Yang kedua adalah SDM yang berkualitas. Sudah kita ketahui bersama bahwa kampus merupakan lembaga pendidik dan penghasil manusia sesuai dengan tujuan kampusnya. Di Indonesia dikenal sebuah credo Tridharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, yang menjadi visi besar setiap kampus negeri ini. Jadi di perguruan tinggi manapun di Indonesia, kegiatannya selalu diarahkan pada pembangunan bangsanya. Dalam kaitannya dalam dunia perminyakan, tentu SDM yang dihasilkan haruslah bisa membangun kemandirian negara dari sektor energi. Dunia migas merupakan “lahan basah” untuk berkarir dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa prospek gajinya sangat cerah. Tanpa adanya penanaman jiwa nasionalisme dan integritas pribadi pada calon alumni-alumninya, maka yang tercipta hanyalah manusia-manusia yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri dan tidak memilikisense of belonging pada permasalahan energi bangsanya.
Selain itu, kampus juga harus bisa meningkatkan kapasitas para calon alumninya agar dapat unggul di kancah dunia internasional. Tidak diragukan lagi bahwa penguasaan bahasa asing, kepandaian berbicara di depan umum, kemampuan memimpin tim, merupakan beberapa softskill yang harus dimiliki para alumni Teknik Perminyakan agar bisa berkompetisi dan bersosialisasi dengan para rekannya. Yang menjadi rekan disini bukan hanya dari Indonesia saja, alih-alih sudah mencakup rekan dari seluruh tataran belahan dunia lainnya.
Dan yang terakhir dan tak kalah pentingnya adalah permasalahan modal. Modal sangat penting bagi kampus sebagai biaya riset dan penelitian. Memang hingga detik ini, kebanyakan soft-product (metode, analisis, atau laporan) yang dihasilkan para calon alumni Teknik Perminyakan masih terkendala dengan keterbatasan data yang dimiliki kampus. Belum lagi alat laboratorium yang sudah usang karena tak diganti sejak lama. Hal ini dimotori kurangnya asupan dana yang disuntikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan seperti ikatan alumni, pemerintah, dan industri. Kedepannya, perlu dibentuk  sebuah komitmen jelas antara industri, pemerintah, dan pihak alumni dari Teknik Perminyakan sendiri untuk membangun proses riset dan penelitian yang baik di kampus. Apalagi jika arah riset dari kampus di bidang Teknik Perminyakan sendiri mulai diarahkan pada pembentukan hard-product yang dapat diaplikasikan langsung di lapangan dan bukan lagi hanya konsepsi tertulis diatas kertas saja. Tentunya, modal yang dibutuhkan tidaklah sedikit.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan saya ini dengan kata-kata John Naisbitt dalam salah satu bukunya. Dia mengatakan: “we must learn from the future in precisely the ways we have learned from the past”. Memang benar adanya bahwa kita harus belajar dari masa depan seperti kita belajar dari masa lalu. Masa emas produksi minyak Indonesia memang sudah lewat, tapi disana kita belajar dan menginstropeksi diri kita selama 24 tahun bagaimana cara mengelola minyak dengan baik hingga era kemandirian energi Indonesia itu pernah ada. Memang saat ini kita berada dalam kidung keterbatasan energi nasional kita sehingga mau tidak mau kita telah mengimpor minyak. Masa lalu telah mengajarkan banyak hal pada kita semua, untuk bisa membangun dan mengembangkan dunia petroleum Indonesia. Kita pasti bisa.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More