Rabu, 15 Juni 2011

Sejarah Pengelolaan Migas Indonesia

Sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda, di Indonesia sudah dilakukan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Pengusahaan minyak bumi di Indonesia memang tergolong yang tertua di dunia. Pengeboran minyak pertama di Indonesia, yang dilakukan oleh J Reerink, 1871, hanya berselang dua belas tahun setelah pengeboran minyak pertama di dunia oleh Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville (1959), di negara bagian Pensilvania, Amerika Serikat. Meskipun demikian, berbeda halnya dengan sektor perkebunan dan pertanian yang sudah ratusan tahun diperah, sektor pertambangan baru dikembangkan oleh Belanda pada abad ke-19. Dua abad lebih setelah VOC didirikan, sektor pertambangan belum menjadi andalan pendapatan pemerintah kolonial. Hal ini bisa dilihat dari adanya Indische Mijnwet, produk undang-undang pertambangan pertama, yang baru dibuat oleh Belanda pada tahun 1899.
Pada pertengahan abad ke-19, Corps of the Mining Engineers, suatu institusi Belanda, telah melaporkan penemuan minyak pada dekade 1850-an, antara lain di Karawang (1850), Semarang (1853), Kalimantan Barat (1957), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858), Surabaya dan Lamongan (1858). Temuan minyak terus berlanjut pada dekade berikutnya, antara lain di daerah Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) dan Madura (1866).

Cornelis de Groot, yang saat itu menjabat sebagai Head of the Department of Mines, pada tahun 1864 melakukan tinjauan hasil eksplorasi dan melaporkan adanya area yang prospektif. Laporannya itulah yang dianggap sebagai milestone sejarah perminyakan Indonesia (Abdoel Kadir, 2004).
Sosok Belanda lainnya yang cukup dikenal di dalam milestone perminyakan Indonesia adalah J. Reerink, yang menemukan adanya rembesan minyak di daerah Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya kota Cirebon. Minyak tersebut merembas dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke permukaan. Berdasarkan temuan itu, ia lalu melakukan pengeboran minyak pertama di Indonesia pada tahun 1871. Pengeboran pertama ini memanfaatkan tenaga hewan lembu. Total sumur yang dibor sebanyak empat sumur, dan menghasilkan 6000 liter minyak bumi yang merupakan produksi minyak bumi pertama di Indonesia.
Keberhasilan J. Reerink menemukan minyak, meskipun secara keekonomian tidak komersial, menjadi tonggak berkembangnya pemboran minyak di Indonesia. Selama periode 1882 – 1898, telah dilakukan pemboran di daerah-daerah lainnya seperti di Langkat (Sumatra Utara), Surabaya (Jatim), Kutai (Kaltim) dan Palembang (Sumsel). Era ini disebut juga era pionir, sekaligus sebagai awal pengelolaan minyak bumi secara sistematis melalui badan usaha, yang menjadi cikal bakal perusahaan minyak Belanda.
Aeilko Janszoon Zeilker merupakan orang pertama yang memperolah konsesi di daerah Telaga Said, Langkat, Sumatra Utara seluas 500 bahu (3,5 km persegi), dari Sultan Langkat pada tahun 1883. Lapangan itu ia temukan pada saat inspeksi dan menemukan genangan yang tercampuri minyak bumi. Setahun kemudian, lapangan ini mulai berproduksi pada tahun 1884 dan menghasilkan 8000-an liter minyak bumi. Untuk mendukung pengembangan usaha minyak di lapangan ini, maka dibangunlah jaringan pipa dan kilang minyak oleh Jean Baptist August, sepeninggal Zeilker. Kilang minyak Pangkalan Brandan tersebut selesai dibangun pada tahun 1892. Enam tahun setelahnya, tahun 1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu. Dengan demikian, minyak mentah yang dihasilkan dapat diolah terlebih dahulu sebelum dikapalkan. Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.
Pada tahun 1890, Belanda secara resmi mendirikan perusahaan minyak di Indonesia yang diberi nama NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, atau Royal Dutch Petroleum Company. Sebelum itu, di negeri Belanda sendiri telah dibentuk Doordsche Petroleum Maatschappij pada tahun 1887, oleh Adriaan Stoop, untuk mengembangkan lapangan minyak di Surabaya, Jawa Timur. Stoop memperoleh konsesi seluas 152,5 km persegi. Lapangan Kruka merupakan lapangan tertua di daerah ini. Dari lapangan Djabakota berhasil diproduksikan sekitar 8000-an liter minyak bumi. Stoop kemudian membangun kilang Wonokromo pada tahun 1890 – 1891 untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan. Kilang ini merupakan yang tertua di Pulau Jawa. Sejak itu, banyak berkembang konsesi-konsesi di Jawa, antara lain di daerah Gunung Kendeng, Bojonegoro, Rembang, Jepon dan lain-lain. Totalnya sekitar tiga puluh lapangan. Sejalan dengan pengembangan lapangan-lapangan itu, didirikan pula kilang di Cepu, Bojonegoro.
Di Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi kepada Jacobus Hubertus Menten, pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga mulai berproduksi. Selanjutnya dibangunlah kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi komersialnya sendiri baru dicapai pada tahun 1897. Pengapalan minyak pertama terjadi pada tahun 1898 oleh kapal tanker Shell ke Singapura.
Di Sumatra Selatan, eksplorasi produksi dimotori oleh Dominicus Antonius Josephin Kessler dan Jan Willem Ijzerman. Mereka berdua mendirikan Nederlandsche Indische Exploratie Maatschappij pada tahun 1895, untuk mengelola konsesi yang ada di daerah Banyuasin dan Jambi. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah konsesi mereka, maka pada tahun 1897 dibentuk Sumatera–Palembang Petroleum Maatschappij, yang masih menjadi bagian Royal Dutch. Selanjutnya dibangunlah kilang mini di daerah Bayung Lencir. Penemuan lainnya yaitu di daerah Lematang Ilir dan Muara Enim, Sumatra Selatan, untuk selanjutnya kemudian dibentuk Muara Enim Petroleum Maatschappij. JW Ijzerman juga kemudian membangun kilang yang cukup besar di Plaju, bersamaan dengan pembangunan jaringan pipa yang menghubungkan Muara Enim dengan Kilang Plaju tersebut.
Pada masa itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader, yakni Royal Dutch dan Shell. Royal Dutch bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch – Shell Group, yang kemudian dikenal dengan Shell. Di bawah group ini dibentuklah De Bataafsche Petroleum Mij (BPM) untuk produksi dan pengilangan dan Anglo Saxon Petroleum Coy untuk transportasi dan pemasaran (Abdoel Kadir, 2004).
Berdirinya Royal Dutch Company pada tahun 1890, tidak terlepas dari upaya Zeilker yang berhasil menemukan minyak secara komersial di Telaga Said, Sumatra Utara. Atas temuan komersialnya itu, Zeilker lalu berangkat ke Belanda untuk menandatangani proposal pendirian perusahaan minyak terbesar di Hindia Belanda yang berpusat di Pangkalan Brandan. Dia sendiri lalu ditunjuk untuk memimpin perusahaan itu. Pada tahun itu juga, ia wafat dan digantikan oleh De Gelder, yang bertugas mengembangkan lapangan-lapangan baru. Sementara itu, Shell, perusahaan yang didirikan oleh Marcus Samuel pada tahun 1897, pada awalnya hanya merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang di kota London. Komoditas pertamanya inilah yang dijadikan logo perusahaan hingga kini.
Masuknya kartel-kartel raksasa minyak dunia dalam industri migas di Hindia Belanda diawali dengan terbitnya undang-undang pertambangan (Indische Mijnwet) pada tahun 1899 (Syeirazi, 2009). Undang-undang ini memperbolehkan pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak bumi, setelah sebelumnya pemerintah kolonial melarang keterlibatan pihak swasta. Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke Hindia Belanda pada tahun 1912. Mereka lalu mendirikan anak perusahaan bernama Nederlansche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM). Hanya berselang sepuluh tahun, perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 – 20 ribu barel per hari dari sumur Talang Akar. Keberhasilan ini mendorong NKPM membangun kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926.   
Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), grup Standard Oil yang lainnya, datang ke Hindia Belanda. Socal kemudian bergabung dengan Texaco dan mendirikan perusahaan joint venture bernama NPPM (Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij). Pengeboran pertama mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekan Baru, dan menghasilkan minyak meskipun tidak terlalu besar. Penemuan besar mereka terjadi pada tahun 1944, pada saat ahli geologi NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas-1. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal penguasaan Chevron terhadap cadangan minyak terbesar di Indonesia saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More